Nama Datu Banua Lima cukup dikenal warga Banjar di Kalimantan Selatan. Datu Banua Lima merupakan gelar bagi lima panglima Kerajaan Tanjungpuri yang terkenal sakti dan ditakuti kerajaan lain termasuk prajurit Majapahit pada awal abad ke 14 masehi.
Berdasarkan hikayat Datu Banua Lima, kelima Panglima tersebut yang pertama bergelar Panglima Alai, merupakan ahli politik dan strategi.
Kedua, Panglima Tabalong, yang terkenal gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Ketiga, Panglima Balangan yang berwajah tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu kanuragan.
Sedangkan yang keempat dan kelima adalah si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini terkenal keras dan suka berkelahi.
Konon kelima bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kepala Suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).
Kala itu Kerajaan Tanjungpuri berhubungan baik dengan Kerajaan Nan Serunai tetangganya.
Walau berbeda keyakinan Kerajaan Tanjungpuri yang mayoritas pengikutnya beragama Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai pengikut ajaran Kaharingan.
Tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati dan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan.
Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai nusantara.
Ada mata-mata Majapahit yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tadi sangat makmur karena istananya berlapis emas.
Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Nan Sarunai.
Lalu pada 1356 M Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo.
Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin Senopati Arya Manggala.
Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai meminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri.
Lalu oleh Raja Tanjungpuri dikirim lima orang panglimanya yaitu Datu Banua Lima dengan membawa 1.000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai.
Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri.
Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara dan sudah menaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat.
Banyak prajurit Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut.
Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima.
Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pengawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit.
Semantara Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu kesaktian dengan para pendekar Majapahit.
Banyak sudah prajurit Majapahit yang merupakan pendekar bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin.
Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala kepalanya putus terkena Mandau senjata asli Suku Dayak.
Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua pada 1358 M.
Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama.
Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara.
Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam peperangan.
Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai dibunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya.
Laksamana Nala adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara.
Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati perlawanan yang hebat dari pasukan Tanjungpuri yang dipimpin oleh Datu Banua Lima yang terkenal tersebut.
Setelah berhari-hari berperang akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan.
Pasukan Majapahit kembali ke Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang menghadapi kerajaan Nan Sarunai.
Sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami kehancuran dimana-mana. Akibat peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan ketika mendengar ada peperangan.
Sebagai tanda terima kasih kepada Datu Banua Lima, Raja Tanjungpuri Sri Baginda Darmapala memberikan kelima orang panglimanya wilayah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus.
Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri tersebut.
Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong).
Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan).
Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).
Sementara Raja Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan (Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran akibat diserang Majapahit.
Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan karena wilayahnya telah terbagi bagi.
Pada Tahun 1387 atau 29 tahun setelah terjadinya peperangan antara Majapahit dan Tanjungpuri, berdiri sebuah Kerajaan Hindu di Borneo yang bernama Nagaradipa.
Kepala pemerintahannya bernama Empu Jatmika, seorang pelarian dari Kerajaan Kediri. Karena tingkah lakunya yang baik dan santun, dia disukai oleh Raja Tanjungpuri yang bernama Sri Baginda Kartapala (anak Sri Baginda Darmapala).
Oleh Sri Baginda Kartapala, Empu Jatmika ditawari agar anaknya Lambung Mangkurat untuk mengawini anaknya yang bernama Putri Junjung Buih.
Tapi karena merasa terlalu tua, Lambung Mangkurat menyuruh anaknya Raden Putera untuk mengawini Putri Junjung Buih.
Raden Putera adalah anak Lambung Mangkurat dari perkawinan dengan Urang Biaju (Dayak Ngaju). Singkat cerita akhirnya Raden Putra menikah dengan Putri Junjung Buih.
Sejak saat itu Sri Baginda Kartapala menyerahkan seluruh kekuasaan dan wilayah Tanjungpuri kepada Kerajaan Nagaradipa.
Dengan bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat di Borneo. Namun demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah “sakai”
Kerajaan Nagaradipa sendiri mengangkat Raden Putera sebagai raja yang bergelar Pangeran Suryanata.
Namun ada sesuatu hal yang bergejolak di dalam pemerintahan Nagaradipa, yaitu saling berebut pengaruh antara pendatang dari Majapahit yang sengaja disusupkan jadi pejabat di Nagaradipa dengan orang-orang Tanjungpuri yang ikut mengabdi jadi pejabat di kerajaan.
Apalagi setelah para pejabat Majapahit mampu mempengaruhi Patih Lambung Mangkurat yang akhirnya memutuskan melarang adat istiadat Melayu dan Dayak di Kerajaan Nagaradipa.
Pakaian adat harus mengikuti gaya pakaian orang Majapahit. Mendengar hal tersebut, lima Panglima Tanjungpuri yang sudah tua-tua menjadi berang.
Kelima Panglima ini sangat kecewa sekali sebab mereka sudah bersumpah tidak akan tunduk dengan Majapahit.
Tapi karena masih menghormati Putri Junjung Buih sebagai cucu Sri Baginda Darmapala, kelima Panglima tersebut mampu menahan diri.
Setelah itu kelima panglima masing-masing memutuskan untuk mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus.
Para keluarga Kerajaan Tanjungpuri pun terpecah dua, ada yang mandukung Nagaradipa dan ada juga yang tidak.
Yang tidak mendukung akhirnya ikut mengasingkan diri ke Pegunungan Maratus di bawah pimpinan Pangeran Kuripan ke-10 mengikuti para Datu Banua Lima.
Tempat berkumpulnya para keluarga Kerajaan Tanjungpuri di Pegunungan Maratus yang di pimpin Pangeran ke 10 adalah Manggajaya.
Melihat hal tersabut Patih Lambung Mangkurat merasa terancam, lalu atas bantuan Majapahit dia mengirim pasukan di bawah pimpinan Hulu Balang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa ke daerah Banua Lima yaitu Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Alai, Batang Hamandit dan Batang Tapin supaya tunduk terhadap kekuasaan Nagaradipa.
Dibantu pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa, ke lima daerah itu akhirnya bisa ditaklukkan.
Sementara Pangeran Kuripan ke-10 berhasil diselamatkan oleh Datu Banua Lima dan disembunyikan di daerah Manggajaya (Wilayah Kecamatan Batang Alai Timur sekarang) di Pegunungan Meratus.
Kelima wilayah Banua Lima tersebut memang bisa ditaklukan, tapi daerah Manggajaya tak ada berani yang menyerang ke sana walaupun dibantu prajurit Majapahit.
Mereka gentar karena mendengar cerita lima orang panglima sakti yang bergelar Datu Banua Lima bermukim disitu untuk mengasingkan diri.
Selain itu juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan.
Konon keturunan Datu Banua Lima di wilayah Manggajaya juga dikenal sebagai sosok pemberani dan turut berjuang dalam melawan penjajah Belanda dan selama perang kemerdekaan Indonesia.
Sumber :
- banuahujungtanah
- hikayat Datu Banua Lima
- hikayat Manggajaya