Kisah Keluguan dan Karomah Syekh Jangkung ~ Bagi sebagian warga Pati, Jawa Tengah nama Syekh Jangkung tidak bisa dilepaskan dengan cerita mengenai kesaktian Syekh Jangkung atau juga dikenal sebagai Saridin yang begitu melegenda.
Menurut Babad Pati, Saridin adalah anak angkat Ki Ageng Kingiran yang ditemukan di pinggir sungai. Lalu oleh Ki Ageng Kingiran bayi tersebut diambil dan diberi nama Saridin. Selama ini Ki Ageng Kingiran memang mendambakan anak lelaki meski telah memiliki putri yang bernama Sumiyem.
Setelah dewasa Sumiyem diperistrikan oleh seorang laki-laki bernama Branjung, sedangkan Saridin dikawinkan dengan gadis bernama Sumirah.
Dalam satu versi dikisahkan jika Saridin muda pernah berguru ke Sunan Kalijaga sehingga dia ini memiliki ilmu kesaktian yang cukup lumayan.
Seiring perjalanan waktu Ki Ageng Kingiran orangtua angkat Saridin yang sudah tua berpesan, jika dia meninggal, maka pohon durian miliknya akan diwariskan kepada Saridin dan Branjung suami dari Sumiyem.
Ki Ageng Kingiran berpesan jika siang durian tersebut merupakan bagiannya Branjung sedang kalau malam bagiannya Saridin. Bila ada yang jatuh siang menjadi rejeki Branjung sedangkan kalau jatuh malam hari maka rejekinya Saridin.
Ternyata durian tadi kalau siang tidak ada yang jatuh. Sedangkan kalau malam banyak yang jatuh. Branjung mulai merasa iri hatinya dan timbul dalam pikirannya ingin menyamar menjadi harimau untuk menakut-nakuti Saridin.
Setelah merubah dirinya menjadi harimau maka segera memanjat pohon durian, Saridin tahu kalau ada harimau di pohon durian segera ditombak kena dan mati. Setelah harimau mati, berubah lagi menjadi manusia.
Oleh petinggi Pati, Saridin didakwa telah melakukan pembunuhan sehingga harus dijatuhi hukuman.
Kemudian Saridin dipenjara oleh penguasa Pati. Sebelum dipenjara, Saridin bertanya apakah boleh pulang jika kangen anak dan istrinya.
Petugas menjawab “boleh, asal bisa” . Dan terbukti beberapa kali Saridin bisa pulang, keluar dari penjara di malam hari dan kembali lagi esok harinya.
Hal ini tentunya membuat penguasa Pati jengkel lalu Saridin dikenai hukuman gantung. Tapi saat digantung para petugas tidak mampu menarik talinya karena terlalu berat.
Saridin menawarkan ikut membantu, dijawab oleh Adipati “boleh, asal bisa”. Dan karena izin itu Saridin lepas dari talinya, lalu ikut menarik tali gantungan.
Adipati semakin murka, dan menyuruh membunuh Saridin saat itu juga. Lalu Saridin memutuskan melarikan diri dan berguru pada Sunan Kudus. Di sini Saridin tidak berhenti menunjukkan kesaktiannya, malah semakin menonjol.
Saat disuruh bersyahadat oleh Sunan Kudus, para santri lain memandang remeh pada Saridin, apa mungkin dia bisa mengucapkannya dengan benar.
Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan semua orang. Saridin bukannya mengucap syahadat, justru lari memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi, dan tanpa ragu terjun dari atasnya. Sampai di tanah, dia tidak apa-apa. Semua pada heran pada apa yang terjadi.
Sunan Kudus menjelaskan, bahwa Saridin bukan cuma mengucapkan syahadat, tapi seluruh dirinya bersyahadat, menyerahkan seluruh keselamatan dirinya pada kekuasaan tertinggi. Kalau sekedar mengucapkan kalimat syahadat, anak kecil juga bisa.
Namun Saridin masih tetap dilecehkan oleh para santri. Saat ada kegiatan mengisi bak air untuk wudhu, Saridin bukannya diberi ember, malah diberi keranjang. Tapi dengan keranjang itu pula Saridin bisa mengisi penuh bak air.
Saat Saridin mengatakan bahwa semua air ada ikannya, tidak ada yang percaya. Akhirnya dibuktikan, mulai dari comberan, air kendi sampai air kelapa, ketika semua ditunjukkan di depan Saridin, semua ada ikannya.
Karena Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan sehingga dia akhirnya diusir Sunan Kudus, harus keluar dari tanah Kudus.
Singkat cerita, Saridin lalu bertemu dengan Sunan Kalijaga gurunya terdahulu. Kemudian Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan, dengan hanya dibekali dua buah kelapa sebagai pelampung.
Tidak boleh makan kalau tidak ada makanan yang datang, dan tidak boleh minum kalau tidak ada air yang turun.
Setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di salah satu kerajaan di Pulau Sumatera yang belum masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mataram.
Raja tersebut menganggap remeh Sultan Agung. Saridin menyela omongan Raja tersebut, dia merasa terpanggil sebagai seorang yang sama-sama dari Tanah Jawa. Dia mengaku sebagai hamba Mataram yang mau menguji kesaktian dengan sang raja.
“Aku bisa menghitung kekuatan pasukan kerajaan ini, yang paduka gelar di alun-alun kerajaan,” kata Saridin. Ribuan pasukan itu telah siap siaga untuk melawan Sultan Agung Mataram.
“Ya, coba kalau bisa kamu menghitung ribuan pasukanku dengan tepat, aku akan mengaku kalah sama kamu, Saridin,”.
Lalu Saridin melesat dengan cepat ke atas, berlari dari ujung ke ujung tombak yang mengacung ke langit. Semua dihitung dengan cepat seperti kilat. Dia kemudian berada dihadapan raja dengan menebak jumlah pasukan yang berbaris.
Raja itu pun tertunduk, bergetar dan ciut nyalinya menghadapi kesaktian Saridin. Seketika itu raja takluk dihadapan Saridin, namun dia tidak menerima sembah bakti.
Saridin menyarankan untuk tunduk kepada Sultan Agung saja, sebab Saridin adalah salah satu hamba dari Mataram. Dengan demikian raja tersebut tunduk-takluk kepada Sultan Agung tanpa perlawanan sama sekali.
Selain sakti mandraguna, Saridin juga dikenal sebagai ahli berdakwah Agama Islam. Beramal ibadah, membantu kaum du’afa dan para fakir-miskin. Ketenaran Saridin sampai ke wilayah Mataram.
Kehebatan Syeh Jangkung akhirnya sampai di telinga Sultan Agung Raja Mataram. Sultan Agung sedang bingung karena warga di Alas Roban mengadu karena saat ini banyak warga yang menderita karena Ki Jati, penguasa alas Roban sangat kejam dan banyak membunuh warga yang akan membuka ladang di daerah itu.
Ki Jati adalah orang yang sangat sakti yang bisa berubah menjadi siluman ular yang sangat ganas.
Tidak itu saja. Ki Jati yang menganut aliran sesat, selalu menculik gadis-gadis muda di sekitar alas roban untuk dijadikan tumbal agar dia tetap digdaya dengan ilmu hitamnya. Sultan Agung lalu minta tolong pada Syeh Jangkung untuk menumpasnya. Syeh Jangkung lalu mendatangi Ki Jati.
Terjadilah pertarungan hebat antara Syeh Jangkung dengan Ki Jati. Ki Jati kalah dan Syeh Jangkung minta agar Ki Jati berjanji akan meninggalkan alas roban. Namun Ki Jati masih menyimpan dendam pada Syeh Jangkung.
Atas jasanya menumpas penguasa Alas Roban, Syeh Jangkung mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.
Saat Syeh Jangkung berbahagia akan melaksanakan pernikahannya, Ki Jati yang masih dendam raganya masuk kedalam Retni Jinoli. Syeh Jangkung kini harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli.
Dengan sungguh-sungguh Syeh Jangkung merukyah calon istrinya. Istri Syeh Jangkung sembuh dan siluman ular yang masuk ke raga Retno Jinali keluar. Syeh Jangkung marah hingga akhirnya dapat membunuh Ki Jati. Wanita trah Keraton Mataram itu lalu menjadi istri sah Syeh Jangkung dan diboyong ke Miyono.
Ketika usia Syech Jangkung mendekati senja dia memilih hidup sebagai petani dengan membuka perkampungan baru di kawasan Pati, Jawa Tengah.
Dalam perjalanan mencari perkampungan sampailah di Desa Lose. Di sini, dia bertemu dengan tujuh orang yang sedang memperbaiki atap sebuah rumah.
Dari sinilah Syekh Jangkung ingin membuktikan kebaikan perilaku ketujuh orang tersebut. Lantas, dia mengalihkan perhatian mereka dengan bertanya apakah ada warga sekitar yang akan menjual kerbau. Maksud Syekh jika ada maka dia ingin membeli dua ekor dengan alasan untuk keperluan membajak sawah.
Ke tujuh orang melihat pakaian Syekh Jangkung yang compang-camping tidak mengindahkan pertanyaan tersebut. Malah menghinanya dengan jawabannya yang menyakitkan.
Mereka mengatakan di desanya tidak akan ada orang menjual kerbau padanya. Namun, bila mau dia akan diberi kerbau yang sudah mati. Di luar perkiraan ke-tujuh orang itu, Syekh Jangkung menerima tawaran mereka.
Lalu berangkatlah mereka bersama menuju tempat kerbau mati. Syekh Jangkung lantas menatap seonggok kerbau yang sudah tidak bergerak itu. Badannya sangat besar dengan tanduk yang sudah melengkung. Melihat kerbau itu, Syekh Jangkung lantas salat dan meminta kepada Allah agar kerbau itu dihidupkan kembali.
“Sekarang bangunlah,” ujar Syekh Jangkung sambil mengelus-elus tanduk kerbau itu. Aneh bin ajaib, tiba-tiba kerbau itu mengibaskan ekornya menandakan dia hidup kembali.
Tahu kejadian ajaib itu serta merta ke tujuh orang yang semula meremehkan diri Syech Jangkung langsung bersujud untuk menyampaikan permintaan maafnya.
Sejak itu Syekh Jangkung membuka perkampungan di tempat ke tujuh orang tersebut. Yang lantas dikenal dengan nama Desa Landoh, Kecamatan Kayen, Pati.
Sebelum meninggal dunia, Syekh Jangkung berpesan agar kelak kerbau itu disembelih dan dibagikan kepada seluruh penduduk. Tapi, ketika dia meninggal dunia, kerbau itu menghilang dan baru muncul pada hari ke 40.
Oleh anaknya, kerbau itu disembelih dan dibagikan kepada penduduk Landoh. Sementara itu, kulitnya (lulang) disimpan dengan rapi.
Suatu ketika ada seorang pedagang yang kehilangan sabuk pengikat barang dagangan di atas pedati sapi. Dia mengadu kepada Tirtokusumo, anak Syekh Jangkung yang akhirnya memberikan tulang kerbau peninggalan ayahnya.
Namun, di pinggir kampung sapi yang mengenakan tulang kerbau itu mengamuk. Tak seorang pun yang berhasil membunuhnya. Anehnya, sapi itu tiba-tiba menjadi kebal terhadap senjata.
Ketika sapi itu kelelahan, Tirokusumo mengambil tulang kerbau itu. Dan, sapi itupun dengan mudah bisa dibunuh dengan tombak.
Dari kejadian tersebut, akhirnya masyarakat yakin jika tulang Kebo Landoh adalah jimat sakti untuk kekebalan. Tirtokusumo kemudian membagikan lulang-lulang itu (dalam ukuran kecil) kepada penduduk Desa Landoh, termasuk Sultan Agung dari Mataram.