Pada jaman dahulu tersebutlah seorang pengembara muda yang yang berjuluk Jaka Lelana bersama abdinya bernama Mbah Dowo. Suatu hari sampailah mereka berdua di sebuah desa dan bertemu seorang janda yang dusebut Mbok Rondo yang bertempat tinggal di sebuah gubug/tarub.
Di kemudian hari Joko Lelono dijadikan sebagai anak angkat oleh Mbok Randa. Karena Jaka Lelana hanya tinggal di sebuah gubug/tarub maka dia dijuluki sebagai Joko Tarub.
Pada suatu hari Joko Tarub pergi mengembara. Dalam pengembaraannya sampailah ia di sebuah bukit kecil dimana ia mendengar suara burung perkutut yang sangat merdu sehingga dia ingin menangkapnya.
Waktu dia mengendap-endap ingin menangkap burung perkutut tiba-tiba dia mendengar suara orang yang sedang mandi sehingga tidak jadi menangkap burung perkutut itu. Karena ingin tahu siapa yang sedang mandi dia mengendap-endap menghampiri.
Setelah diintip ternyata yang sedang mandi adalah 40 Bidadari. Karena penasaran dia mengambil salah satu pakaian bidadari tersebut dan dibawa pulang.
Pada waktu selesai mandi para Bidadari bermaksud pulang kembali ke alamnya. Ternyata salah satu Bidadari yang bernama Nawang Wulan tidak menemukan selendang pakaiannya yang dipakai untuk terbang ke Kahyangan. Dia bersama saudara-saudaranya mencari kesana kemari tetapi tidak ditemukan.
Karena tidak menemukan selendang Nawang Wulan dan mereka harus segera pulang, maka para bidadari memutuskan untuk meninggalkan Nawang Wulan sendiri di Bumi.
Nawang Wulan berada sendirian di bumi dan tidak mempunyai sanak saudara sehingga merasa sangat kesepian dan sengsara. Kemudian Nawang Wulan berujar barang siapa yang bisa menolongnya kalau laki-laki akan dijadikan suaminya kalau perempuan akan dijadikan saudaranya.
Pada suatu hari dia bertemu dengan Joko Tarub dan diboyong kerumahnya sehingga mereka menjadi suami istri. Setelah berumah tangga Joko Tarub dan Nawang Wulan mempunyai seorang anak perempuan bernama Nawangsih.
Selama berumahtangga Nawang Wulan sering mandi dan mencuci pakaian di sendang yang dulu sering dipakai untuk mandi bersama saudaranya, sehingga sendang tersebut dijuluki sendang Bidadari.
Selama menjadi suami Nawang Wulan Joko Tarub merasa heran karena persedian padi yang ada dirumahnya tidak habis-habis. Nawang Wulan pernah berpesan kepada Joko Tarub dan keluarganya apabila dia sedang memasak agar tidak diganggu atau dilihat oleh orang lain.
Karena merasa penasaran, pada waktu istrinya sedang mencuci pakaian disendang, Joko Tarub ingin tahu apa yang sedang dimasak oleh istrinya tersebut.
Kemudian Joko Tarub membuka tutup kuali yang dipakai istrinya untuk memasak. Betapa terkejutnya Joko Tarub ketika melihat masakan istrinya ternyata hanya sebatang padi.
Setelah habis mencuci Nawang Wulan memeriksa masakannya, ternyata sebatan padi yang dimasak tidak bisa menjadi nasi, sehingga Nawang Wulan menjadi curiga bahwa masakannya ada yang melihatnya. Di kemudian hari Nawang Wulan minta dibuatkan sebuah lesung untuk menumbuk padi menjadi beras.
Sejak saat itu padi yang berada di tempat persediaan (lumbung) selalu ditumbuk dijadikan beras. Karena padi ditumbuk setiap hari maka persediaan padi yang ada dilumbung menjadi habis.
Pada saat itulah Nawang Wulan menemukan pakaiannya/selendang yang di sembunyikan oleh duaminya. Kemudian dipakailah selendang itu untuk terbang kembali ke Kahyangan bersama anaknya Nawangsih dengan sebuah pesan kepada suaminya:
kalau ingin bertemu dengan anaknya Joko Tarub diminta untuk membuat anjang-anjang yang dibawahnya diberi sekam dari ketan hitam yang dibakar.
Di kemudian hari Jaka Tarub menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub. Ku Ageng Tarub berkawan dekat dengan Prabu Brawijaya V Raja Majapahit.
Pada suatu hari Prabu Brawijaya V mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Utusan Brawijaya yang menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar.
Selain itu Prabu Brawijaya V menyerahkan putranya yang bernama Bondan Kejawan untuk dididik oleh Ki Ageng Tarub.
Ki Ageng Tarub mengetahui kedudukan anak angkatnya masih keturunan seorang Raja walau hanya dengan seorang wanita yang tidak membolehkannya untuk tinggal di istana sehingga berjuluk Lembu Peteng/putra gelap.
Setelah tumbuh dewasa Bondan Kejawan dinikahkan dengan Putrinya yang bernama Nawangsih dari ibunya Nawang Wulan.
Setelah Ki Ageng Tarub meninggal dunia, Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru.
Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa. Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela berputra Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pamanahan. Ki Ageng Pamanahan berputra Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati pendiri Kesultanan Mataram.
Kesultanan Mataram Islam mengklaim sebagai pewaris sah tahta Majapahit yang bercorak Siwa-Budha menggantikan Kesultanan Demak yang didirikanoleh Raden Patah putra Prabu Brawijaya dengan selirnya Siu Ban Ci murid putra Syekh Bentong murid dari Syekh Qura Karawang.
Dan juga menggantikan Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir putra Ki Kebo Kenanga putra Jaka Sengara atau Pangeran Andayaningrat, putra mahkota Majapahit setelah menikahi putri Pembayun yang sempat diculik oleh Menak Daliputih Raja Blambangan.
Bila Raja Majapahit merupakan penjelmaan dewa di dunia, Dewa-Raja maka Sultan adalah wakil Tuhan di muka bumi, Khalifatullah fil ardhi yang bertugas untuk Memayu Hayuning Bawono.
Walaupun muncul dari keluarga petani dari lereng Merapi-Merbabu, trah Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya dengan mengembangkan cerita akan kesaktian Ki Ageng Selo yang sanggup menangkap petir.
Adapun untuk mendapat legitimasi keagamaan Kesultanan Mataram membangun relasi dengan Khalifah Turki Ottoman di Istanbul.
Adapun Raja Mataram Islam yang mendapat mandat kekuasaan Khilafah Turki Ottoman adalah Sultan Agung bersama Sultan Iskandar Tsani dari Aceh pada masa Sultan Murad IV.
Keduanya dibai’at oleh Syarif Makkah Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi. Sultan Agung kemudian dipercaya sebagai Utusan Makkah di Tanah Jawi Sultan Iskandar Tsani di Aceh.
Setelah resmi menjadi sultan dan berada di bawah Turki Utsmaniyah maka secara simbolik tutup kepala Kulup Kanigoro Sultan Agung diganti dengan menggunakan Tarbusy seperti yang dikenal sampai sekarang.
Selain itu juga di berikan tongkat pataka, air zam zam yang diletakan dalam guci, juga kiswah kabah dan satir dari makam Nabi Muhammad yang dijadikan satu menjadi bendera bertuliskan "Ashaduallaiillahaillallah, dan yang satu lagi bertuliskan waashaduanamuhammadan abduhu warasullu, dan juga surat Al Kautsar."
Bendera ini di beri nama Kyai Tunggul Wulung yang sekarang masih ada di keraton Yogyakarta.
Selain itu untuk membuktikan diri sebagai “trahing kusuma, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih”, Kesultanan Mataram Islam menisbahkan asal-usulnya kepada keturunan bangsawan Jawa dan para Nabi Islam.
Pernah terjadi suatu insiden tragic dimana Trunajaya seorang Pangeran Madura yang pernah mengusir Amangkurat II dari Keraton Plered pernah mengejek raja-raja Mataram sebagai sebuah tebu.
“Raja Mataram iku dak umpakakake tebu, pucuke maneh cen legiyo, sanadjan bongkote ing mbiyen ya adem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angor macula bae bari angona sapi”.
"Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, meskipun ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulunya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik kalau mencangkul saja sambil menggembalakan sapi."
Karena kesal dengan ejekan ini, pada saat Trunajaya kemudian ditangkap atas bantuan Pangeran Puger dan VOC. Amangkurat II dan keluarga Mataram beramai-ramai mencincang Trunajaya, kepalanya dipenggal dan dikubur di bawah anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri.
“Siapapun yang akan berziarah ke Makam Imogiri akan menginjak kepala Trunajaya”, demikian sumpah raja Mataram yang marah besar atas penghinaan Trunajaya yang masih merupakan trah keturunan Majapahit.
Tetapi anomali Kesultanan Mataram Islam terjadi berulang-ulang. Disatu sisi Kesultanan Mataram mencoba berpegang pada ajaran Islam tapi disisi lain melepas perlindungan pada para Wali Songo berganti pada perlindungan Kanjeng Ratu Kidul dan Kyai Sapu Jagat.
Di satu sisi Dinasti Mataram berganti wajah sebagai Kesultanan Islam tapi disisi lain Sultan terakhir melepas paugeran Kesultanan Islam dengan menghilangkan gelar Khalifatullah dan mengubah gelar Hamengku Buwono dengan Hamengku Bawono serta memasukkan konsep Ratu Eropa kedalam konsep Sultan Islam.