Oleh:
Dhani Irwanto
Tahun 2017 lalu saya berkunjung ke sebuah pulau yang berada di tengah Laut Jawa, yaitu Pulau Bawean, untuk menyampaikan sebuah presentasi tentang kaitan pulau itu dengan Atlantis. Saya sempat tinggal beberapa hari disana, berkeliling di pulau kecil itu untuk mengamatinya dan berbincang dengan setiap penduduk yang saya temui. Ada satu hal menarik yang saya dapatkan saat berbincang dengan mereka. Beberapa orang menceritakan sebuah legenda turun-temurun tentang adanya sebuah pulau gaib yang terdapat di sebelah utara pulau itu, di tengah Laut Jawa, yang sekarang sudah tenggelam. Mereka juga bercerita tentang seringnya kejadian perahu atau kapal nelayan yang kandas atau hilang apabila berlayar mendekati pulau gaib itu.
Setelah kembali dari pulau itu, saya terpikir untuk membuka peta-peta lama yang disusun oleh para geografer pada abad ke-16 dan ke-17. Setelah saya amati, banyak peta yang menunjukkan adanya sebuah pulau yang terdapat di sebelah timurlaut Pulau Bawean, dengan nama yang bervariasi seperti Nusasua, Nisasira, Nusasira dan Nisaira (lihat peta-peta terlampir). Nama-nama itu kemudian saya tafsirkan menjadi Nusasura dalam kelompok bahasa Austronesia. Apakah Nusasura/Nusasurya itu Pulau Atlantis?
Dalam penelitian yang saya terbitkan pada tahun 2015, saya melakukan sebuah hipotesis tentang Pulau Atlantis, dimana terdapat ibukota kerajaan Atlantis, adalah terdapat di sebelah timurlaut Pulau Bawean. Pulau itu sekarang sudah tenggelam dan ditumbuhi oleh sebuah terumbu karang yang diberi nama Gosong Gia atau Annie Florence Reef. Terumbu karang ini sempat dipetakan secara rinci menggunakan multi-beam echosounder beberapa waktu lalu. Dari pola terumbu karangnya, struktur kota beserta ukurannya yang dinarasikan oleh Plato masih dapat terlihat. Lokasi terumbu karang itu berada kurang lebih sama dengan Nusasura yang tertera pada peta-peta tersebut diatas. Perlu diketahui bahwa para penyusun peta itu mendapatkan informasi dari para pelaut Eropa yang berlayar di Laut Jawa. Para pelaut itu memperoleh informasi tentang pulau-pulau di Laut Jawa dari para penduduk atau pelayar lokal, yang kemungkinan juga menceritakan tentang adanya pulau gaib tersebut dan kemudian digambarkan oleh para pelayar Eropa itu.
Selain itu, saya juga membuka catatan-catatan kuno yang berada di Mesir. Dari sini saya memperoleh sebuah kata yang mirip bunyinya dengan Nusasura, yaitu Neserser. Dalam mitologi orang Mesir Kuno, pulau dan danau Neserser, “pulau dan danau api” (di wilayah yang bergunungapi) di mana Osiris dan Thoth berasal, sering disebutkan dalam mitos-mitos mereka. Seperti yang dijelaskan dalam “Papirus Nu” (dalam “Buku Kematian”), mitos itu bercerita bahwa Osiris bertahta di pulau Neserser di pusat enam atau tujuh lingkaran konsentris yang masing-masing memiliki gerbang dan semuanya berada di “danau” Neserser. Lingkaran konsentris itu dibangun untuk dewa Ra oleh para penghuni danau. Tanah kediaman Thoth berada di sekitar danau dan ia mengunjungi Osiris di pulau itu. Ada banjir besar di danau Neserser dan entah bagaimana lingkaran Ra ini kemudian tersembunyi.
Seperti yang tertulis dalam banyak teks makam dari Kerajaan Pertengahan dan Periode Menengah Kedua Mesir Kuno, dalam konsep dewa-dewa dan yang telah meninggal, pulau Neserser adalah sebuah tempat seperti surga, tempat dimana penghakiman dilakukan dan yang telah meninggal dilahirkan kembali dengan diberi status (dewa atau makhluk umum). Padang Hetep adalah semacam surga dibawah pengawasan dewa Hetep dimana yang telah meninggal mengidentifikasi dirinya, dan dimana ia menjalani hidup bahagia yang diberikan untuk orang yang diistimewakan. Didalam konsep itu, Osiris, Horus dan Thoth diberi status dewa atau ruh leluhur.
Deskripsi Neserser adalah mirip dengan kisah Atlantis.
1. Enam atau tujuh lingkaran konsentris dibangun untuk Ra di pulau Neserser, sesuai dengan empat lingkaran daratan Atlantis (termasuk tanah sentral) dan tiga lingkaran air, yang dibangun oleh dewa Poseidon.
2. Baik Osiris ataupun Atlas memiliki takhta mereka di tanah sentral.
3. Danau Neserser adalah sesuai dengan laut yang hampir tertutup di sekitar pulau ibukota Atlantis. Plato menggambarkan laut itu sebagai sebuah perairan yang memiliki mulut ke laut luar, sehingga secara umum dapat disebut sebagai sebuah danau. Berdasarkan hal tersebut, saya telah membuat sebuah hipotesis pada tahun 2015 bahwa laut itu adalah Laut Jawa kuno yang hanya memiliki satu mulut keluar.
4. Ada banjir besar di danau Neserser yang menghancurkan pulau Neserser, dan kemudian tersembunyi. Ini juga sesuai dengan deskripsi tentang penghancuran Atlantis.
Sebuah kata yang mirip bunyinya seperti Nusasura juga ditemukan pada tablet tanah liat Mesopotamia, Nisir, nama sebuah laut dimana Gilgamesh melakukan serangkaian perjalanan untuk mencari leluhurnya Utnapishtim yang telah diberikan kehidupan kekal. Pada 2016, saya membuat sebuah hipotesis bahwa “Epik Gilgamesh” adalah sesuai dengan kondisi di Indonesia, dari deskripsinya seperti sangat ramai dengan suara burung dan jengkerik, serta teriakan monyet di pepohonan.
Nusasura bisa berasal dari kata “nusa” dan “asura”, yang berarti pulau Asura. Asura (juga dikenal sebagai Sura dan Asurya) dalam mitologi dharma adalah kelas makhluk ciptaan atau dewa yang mencari kekuasaan. Asura digambarkan sebagai manusia super yang kuat dengan kelakuan baik atau jahat. Asura yang baik disebut Aditya dan dipimpin oleh Baruna, sedangkan yang jahat disebut Danawa dan dipimpin oleh Writra. Dalam teks-teks Weda dan pasca-Weda, para Dewa adalah yang berkelakuan baik, sedangkan para Asura adalah jahat, bersaing melawan para Dewa dan dianggap sebagai “musuh para dewa”. Dalam hipotesis Atlantis diatas, saya membuat analogi dewa Baruna dengan Poseidon, pendiri Atlantis.
Istilah Asura secara linguistik berkaitan dengan Ahura dalam masyarakat Indo-Iran dan era pra-Zoroastrianisme. Dalam kedua agama tersebut, terdapat Ahura, Vouruna dan Daeva dalam pra-Zoroastrianisme (Asura, Baruna dan Dewa dalam Dharmisme), tetapi peran mereka berada di sisi yang berlawanan. Yaitu, Ahura berevolusi untuk mewakili kebaikan dalam pra-Zoroastrianisme, sementara Asura berevolusi untuk mewakili yang buruk dalam Weda, sedangkan Daeva berevolusi untuk mewakili yang buruk dalam pra-Zoroastrianisme, sementara Dewa berevolusi untuk mewakili kebaikan dalam Weda. Peran yang berlawanan ini telah menyebabkan beberapa ahli menyimpulkan bahwa mungkin pernah terjadi peperangan di masyarakat proto-Indo-Eropa, dan dewa-dewa mereka berevolusi untuk mencerminkan perbedaannya. Dalam konteks Atlantis, telah terjadi perang antara Atlantis dan “Athena” (nama yang dipinjam). Asura/Ahura dapat dianalogikan dengan orang-orang Atlantis sedangkan Dewa/Daevas sebagai orang-orang “Athena”.
Perhatikan juga kemiripan linguistik antara Asura dan Osiris dalam catatan kuno Mesir di atas. Osiris atau Atlas memiliki takhta mereka di tanah sentral. Oleh karena itu kita dapat berspekulasi bahwa Asura, Osiris dan Atlas adalah orang yang sama. Nama Atlantis berasal dari Atlas, Neserser dari Osiris dan karenanya Nusasura dari Asura.
Dhani Irwanto, Juni 2018